Ridwan Hisjam : Aklamasi bukan Budaya Partai Golkar
Jakarta – Mencoba menghilangkan budaya aklamasi, Politikus senior Partai Golkar Ridwan Hisjam didampingi Ketua Go Gibran Andi Biashara dan putra Harmoko, Azisoko Harmoko ikut pendaftaran calon Ketua Umum Golkar di Kantor DPP Partai Golkar, Jl. Anggrek Neli Murni No.11A, RT.16/RW.1, Kemanggisan, Kec. Palmerah, Jakarta Barat, Senin (19/8/2024).
Menurut Ridwan, aklamasi dalam pemilihan Ketua Umum (Ketum) Golkar tidak sesuai dengan budaya partai. Bahkan ia menilai hal itu sebagai bentuk ancaman.
Ridwan menegaskan, etika dan budaya berdemokrasi di Partai Golkar yang dikenal demokratis, modern dan partai berbasis kader sudah tergerus sejak Munas X tahun 2019.
“Saat itu pola aklamasi di Munas mulai muncul dengan terpilihnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum, terpilih secara aklamasi,” ungkap Ridwan di depan ruang pendaftaran calon Ketua Umum Golkar.
Di depan para awak media, Ridwan pun membuka ingatan sejarah, di mana sejak Reformasi 1998 dan berlangsungnya Munaslub I partai Golkar pasca-Reformasi yang seharusnya berlangsung bulan Oktober 1998 akhirnya dipercepat bulan Juli 1998.
Pada Munas tersebut, ada dua kandidat kuat yang dipilih di Munas untuk menggantikan Harmoko, yakni Akbar Tanjung dan Edi Sudrajat. Kemudian Akbar Tanjung memenangkan kontestasi itu.
Setelah sukses memenangkan Partai Golkar di Pemilu 2004, bukan berarti Akbar Tanjung serta merta menang aklamasi di Munas 2004.
Jusuf Kalla atau JK yang kala itu terpilih menjadi Wapres berhasil menjadi Ketum dalam Munas Partai Golkar 2004 dengan 2 putaran pemilihan.
Pada Munas Golkar di Pekanbaru Riau 2009, kembali pertarungan sengit terjadi antara kubu Akbar Tanjung yang mengusung Abu Rizal Bakri (ARB) melawan kubu JK yang mengusung Surya Paloh (SP).
“Akhirnya ARB menang dan memimpin Partai Golkar hingga 2014,” tutur Ridwan
Berupaya memimpin Golkar dua priode, ARB membuat terobosan pertama Munas dengan sistem aklamasi yang memilihnya di Munas Bali tahun 2014.
Namun Munas tersebut malah menimbulkan faksi baru di Partai Golkar, dengan digelarnya Munas tandingan di Ancol oleh Kubu Agung Laksono dkk, sehingga terjadilah dualisme DPP Partai Golkar.
Dualisme ini kemudian islah melalui Munaslub tahun 2016 di Bali, dengan menggabungkan dua kubu DPP Partai Golkar, sampai terpilih Setya Novanto alias Setnov menjadi ketum mengalahkan delapan kandidat lainnya.
Ridwan Hisjam, politisi senior Golkar yang sudah 5 periode duduk di DPR lebih lanjut menuturkan Golkar adalah partai lama yang sudah mengalami berbagai ujian sejarah dalam perjuangan politiknya.
“Golkar ini partai tua yang sudah bertranformasi menjadi partai modern. Pegangan kita paradigma baru Golkar yang dibawa Akbar Tandjung. Jadi, kita biasa menghadapi berbagai cobaan,” ungkap Ridwan.
Ridwan Hisjam menjelaskan misinya adalah menjaga dan meningkatkan solidaritas dalam rangka sukses pemilu 2029 kemudian menyatukan sekber Golkar – Golkar – Partai Golkar dan generasi milenial melalui jejaring nasional dan global yang unggul.
“Bersama Pemerintah menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara maju menuju Indonesia Emas 2045,” paparnya.
Ridwan Hisjam juga menjelaskan pencalonan dirinya untuk Menjaga roh baru Partai Golkar yang telah berubah dari Golkar era Orde Baru menjadi Partai Golkar di era reformasi.
“Paradigma Baru Partai Golkar yaitu membuat Partai Golkar yang terbuka, demokratis, mandiri, modern dan yang mendengarkan aspirasi rakyat, ” jelasnya.
Menurut Ridwan Hisjam, semua itu harus dijalankan secara total, tidak boleh sebagian saja, karena itulah harapan rakyat indonesia kepada Partai Golkar saat reformasi sehingga tetap bisa eksis sampai saat ini menjadi partai besar. (zher)