Catatan Pilkada Serentak di Tahun 2020
Korandetak.com, Jakarta– Kaka Suminta Sekretaris Jenderal (Sekjend) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), menuturkan bahwa pelanggaran pada proses tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang berlangsung di Indonesia, nampaknya masih sering terjadi pelanggaran.
“Sebagai contoh misalnya Pelanggaran pemasangan pada Alat Peraga Kampanye (APK), kemudian panitia penetapan data pemilih yang tidak melakukan pencocokan penelitian data pemilih, lalu yang tidak kalah pentingnya, penyelenggara pemilihan tidak memenuhi persyaratan,” tuturnya saat di hubungi melalui telepon, (16/12/2020).
Menurut Kaka, potensi pelanggaran pada Pilkada sangat dimungkinkan terjadinya banyak pelanggaran Kode Etik dan menurutnya hal ini sangat mungkin untuk penyelenggara pemilihan berpihak pada salah satu peserta pemilihan atau partai politik serta tidak melaksanakan tugasnya secara independen.
“Pelanggaran pada pilkada pun dapat berujung pada tindakan pidana, hal ini bisa di kategorikan seperti politik uang, bisa juga seperti pejabat Negara, pegawai negeri, Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Kepala Desa yang melakukan tindakan menguntungkan bagi salah satu pasangan calon, juga yang lebih memprihatinkan, ada yang mencoblos lebih dari sekali.” Jelas Kaka
Iya menjelaskan bahwa pada pilkada serentak, Politik uang terjadi hampir merata disetiap daerah, dan jika hal ini tidak segera dituntaskan, maka akan memunculkan masalah hilangnya kepercayaan dan partisipasi politik yang demokratis. “Politik uang akan merusak proses Pilkada yang jujur dan adil,” terangnya.
“Pada politik uang Pilkada serentak 2020, Penegakan hukumnya sulit untuk tercapai pembuktiannya, sebab pemberi dan penerima uang sama-sama akan terkena sanksi. Sehingga sulit untuk membuktikan politik uang terjadi karena takut bersaksi,” ujarnya.
“Dalam Pasal 187A Ayat (1) UU Pilkada, menyebutkan bahwa setiap orang yang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan,” ucapnya.
Dikarenakan menurut hasil pemantauan Kaka, politik uang adalah akar dari korupsi, merusak tatanan demokrasi serta meruntuhkan sikap mental yang bermartabat yang menjauhkan Indonesia dari nilai peri kemanusiaan.
“Tindakan ini akan menghasilkan sosok Kepala Daerah yang tidak berkualitas. Juga kecenderungan mengarah kepada perilaku koruptif,” tegasnya.
Sebelum ia menutup iya menerangkan bahwa,”politik uang meningkat pada Pilkada kali ini, karena dilaksanakan pada situasi pandemi Covid-19. Sebab keadaan ekonomi masyarakat saat ini sedang memburuk, serta, besar kemungkinan potensi politik uang akan makin meningkat. Dimana titik temu dari kepentingan ekonomi yang lemah akan di respon baik untuk penghasilan masyarakat.” Tutup Kaka. (rv)