WADUK CIBALIUNG YANG TERLANTAR
Oleh : Prof Anton Apriyantono Sumadri
(Menteri Pertanian 2005 – 2010)
Pertanian sangat berperan dalam pembangunan suatu daerah dan perekonomian, dengan pertanian harapannya mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk, sebagai sumber pendapatan dan sebagai sarana untuk berusaha.
Sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional.
Begitu centralnya peran sektor pertanian bagi kehidupan, membuat berbagai permasalahan yang timbul di sektor ini, menjadi masalah bersama yang harus dicarikan solusinya.
Seperti apa yang dialami para petani di wilayah Ciekusik Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten saat ini.
Dalam diskusi terbatas dengan petani di Kampung Kolecer, Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, 2 Maret 2021 lalu, kondisi saat ini, luas sawah di Cikeusik berkisar 4700 hektar, dan semestinya 3 bendungan yang mengairi sawah di Cikeusik, kini sudah kurang atau tidak berfungsi, menjadikan sawah di Cikeusik menjadi sawah tadah hujan yang ditanami satu kali dalam setahun, semestinya jika dimaksimalkan dapat membuat petani setempat tiga kali panen dalam setahun.
Dengan tidak optimalnya fungsi waduk, membuat semakin tingginya biaya produksi padi dan tenaga.
Selain itu, keberadaan pupuk bersubsidi yang langka membuat pilihan petani membeli pupuk non subsidi sehingga biaya pupuk dapat mencapai 3 juta rupiah per-hektar dengan kebutuhan pupuk 500 – 600 kg per-hektar, campuran pupuk urea dan NPK.
Selanjutnya kebutuhan pestisida yang tinggi dan mahal karena padi sering diserang hama WBC dan grayak serta tenaga kerja pemanen padi sudah sulit dicari karena masyarakat banyak yang keluar daerah mencari pekerjaan menjadi pekerja di perkebunan sawit, tambang, dan lainya.
Oleh karena itu keberadaan combine harvester yang sudah tersedia di Cikeusik sangat diperlukan, tapi biaya penggunaan alat ini per hektar memerlukan biaya 2.4 juta rupiah.
Selain itu, harga gabah masih dinilai rendah, pada musim kemarau sekitar 3800 rupiah per kg, sedangkan pada musim hujan harganya dari mulai 3000 sampai 3500 rupiah per kg. Disamping itu yang juga menjadi masalah adalah, harga gabah hasil gebotan dihargai lebih rendah yaitu sekitar 3000 rupiah per kg, sementara itu hasil panen combine harvester dihargai sekitar 3500 rupiah per kg.
Atas kondisi dilapangan tersebut, masyarakat meminta agar tiga bendungan yang ada di sekitar Cikeusik segera dibangun kembali karena bendungan tersebut sudah lama sekali, dibangun di zaman Presiden Suharto dan sudah banyak mengalami kerusakan.
Jika bendungan ini, minimal bendungan Cibaliung, diperbaiki maka indeks penanaman dapat meningkat dua sampai tiga, produksi padi di Cikeusik bisa ditingkatkan dua kali lipat.
Hal ini akan jauh lebih efisien (hasil produksi dibagi biaya investasi) dibandingkan dengan pengembangan food estate yang ada di Kalimantan Tengah yang membutuhkan investasi jauh lebih besar per-satuan luas sawahnya dengan hasil yang tidak lebih baik dari sawah yang ada di Cikeusik per hektarnya.
Disarankan agar petani Cikeusik juga menerapkan pertanian organik walau tidak sepenuhnya karena pupuk kimia dan pestisida masih dibutuhkan tapi secukupnya, misal pupuk dari 500 sampai 600 kg per hektar diturunkan menjadi 100 kg per hektar.
Pertanian organik ini dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya, jerami jangan dibakar tapi difermentasi lalu dikembalikan ke sawah sebagai pupuk dasar ditambah dengan pupuk kandang. Membuat pupuk organik padat dari biomassa yang ada di sekitar dan dari sampah basah, pupuk ini digunakan sebagai pupum dasar. Selanjutnya membuat pupuk organik cair dari kotoran ternak dan biang mikroba. Pupuk cair yang ditempatkan di drum atau ember yang ditempatkan di sawah, pembuatan pupuknya juga di sawah, digunakan untuk pemupukan setelah tanaman tumbuh secara periodik sesuai dengan umur tanaman.
Petani disarankan juga menjual hasil dalam bentuk beras agar mendapatkan nilai tambah dari hasil panen padinya.
Terakhir, kelompok tani harus mampu mengkordinasi gabah para petani untuk dijadikan beras dengan memanfaatkan penggilingan yang ada di sekitar Cikeusik.(*/red)
Penulis adalah Waketum PUB Pusat Bidang Pertanian dan Lingkungan Hidup