Pengaruh Islamisme: Refleksi Dari Kekhalifahan Utsmaniyah Hingga Indonesia Modern

Oleh: Muhammad Zefian Fahrezi

Politik Islam adalah setiap interpretasi Islam sebagai sumber identitas dan tindakan politik, salah satu pemikiran atau ideologi politik yang tidak lahir dari keadaan sosial maupun pemikiran manusia, namun bersumber dari Al—Quran dan Hadist dengan segala interpretasinya, Islamisme telah mempengaruhi kepolitikan Indonesia dari zaman kerajaan Nusantara sampai zaman Indonesia modern, sebagai sebuah ideologi politik Islam terus mengalami dinamika sesuai dengan perubahan sosial dan politik di Indonesia. Sejak masa kekhalifahan Utsmaniyah, pengaruh politik Islam telah menjalar melalui jaringan perdagangan dan ulama ke seluruh Nusantara, merasuki kerajaan-kerajaan seperti Samudera Pasai dan Demak yang menjadikan Islam sebagai fondasi dalam menjalankan kekuasaan. Dalam praktiknya, Islam dijadikan pedoman dalam tata kelola masyarakat, seperti dalam hukum, pendidikan, dan budaya yang kemudian menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat Islam Nusantara.

Seiring waktu, politik Islam mengalami transformasi signifikan di era kolonial hingga pasca- kemerdekaan. Di masa penjajahan, semangat Islamisme memicu perlawanan melawan dominasi kolonial Belanda, terlihat dari gerakan seperti Sarekat Islam yang menjadi cikal bakal kebangkitan nasional dengan mengedepankan identitas keislaman sebagai wujud perlawanan. Namun, perbedaan pandangan mulai muncul ketika bangsa ini merdeka. Para pendiri bangsa menghadapi tantangan dalam menyatukan keberagaman, termasuk cara pandang terhadap politik Islam dan nasionalisme. Perdebatan panjang antara kelompok yang menginginkan dasar negara Islam dan

mereka yang mendukung Pancasila sebagai konsensus final memperlihatkan tantangan besar dalam merumuskan identitas nasional.

Di era modern, fenomena Islamisme tetap hadir dalam berbagai bentuk, namun dengan karakter yang berbeda. Seiring globalisasi, gerakan Islam transnasional membawa ide-ide yang kadang tak sepenuhnya selaras dengan konteks lokal Indonesia. Di sisi lain, demokratisasi membuka ruang yang lebih luas bagi politik Islam di arena publik, termasuk dalam partai politik dan organisasi masyarakat. Di sinilah muncul tantangan baru: “bagaimana menjaga harmoni antara ajaran agama dan kebangsaan dalam sebuah negara yang plural.”

Namun, Islamisme di Indonesia tak selalu berarti ekstremisme. Bagi sebagian besar masyarakat, Islam justru menjadi alat untuk mempromosikan kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Tokoh- tokoh muslim moderat, misalnya, berperan dalam menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan yang inklusif. Ini tercermin dalam gerakan-gerakan Islam yang menghargai demokrasi dan hak asasi manusia sebagai bagian dari etika berpolitik. Terlihat bahwa mayoritas masyarakat muslim Indonesia cenderung memilih jalur moderat dalam menghadapi perubahan sosial dan politik.

Refleksi ini mengajak kita untuk memahami bahwa Islamisme di Indonesia telah melalui perjalanan yang panjang dan penuh dinamika. Tantangan ke depan bukan hanya tentang bagaimana menjaga identitas Islam dalam politik, tetapi juga bagaimana merangkul keberagaman tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa. Pada akhirnya, politik Islam di Indonesia selalu berkisar pada upaya menemukan keseimbangan antara nilai agama dan nilai kebangsaan, demi terciptanya masyarakat yang harmonis dan berkeadilan.

*penulis adalah mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Komunikasi, FISIP UNTIRTA

(sumber: https://images.app.goo.gl/87oUy8y1Eqqdhxqg8)