Metaverse dan Masa Depan Puisi

Kehadiran teknologi metaverse rupanya juga memberikan sejumlah pertanyaan yang harus mampu dijawab oleh dunia kepenyairan. Padahal isu yang mengiringi teknologi komputer dengan algoritma kecerdasan buatan yang mampu menbuat puisi masih banyak yang belum tuntas dibahas. Namun walau bagaimanapun, para penyair mesti memahami perkembangan zaman ke depan yang dipicu oleh teknologi metaverse, karena mereka bisa menjaga peradaban itu dengan semakin mengasah rasa kemanusiaan kita.

Demikian rangkuman diskusi yang berlangsung saat acara peluncuran buku karya Riri Satria, yaitu kumpulan puisi ‘Metaverse’ serta kumpulan esai ‘Jelajah’ di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Minggu 29 Mei 2022 yang lalu. Acara ini dihadiri oleh hampir 100 orang yang Sebagian besar adalah penyair, penulis, serta aktivis sastra, antara lain Kurnia Effendi, Sam Mukhtar Chaniago, Nanang R. Supriyatin, Tatan Daniel, Nunung Noor El Niel, Rissa Churria, serta Emi Suy.

‘Metaverse’ adalah buku kumpulan puisi Riri Satria yang keempat setelah ‘Jendela’ (2016), ‘Winter in Paris’ (2017) berisikan kumpulan dalam Bahasa Inggris yang ditulis selama musim dingin di Paris dan diluncurkan pada Ubud Writers and Readers Festival 2017 di Ubud Bali, serta ‘Siluet, Senja, dan Jingga’ (2019) yang diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Sementara itu ‘Jelajah’ merupakan buku kumpulan esainya yang kelima setelah ‘Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru Dalam Perubahan Lingkungan Bisnis’ (2003) berupa kumpulan tulisan Riri tentang ekonomi, manajemen, dan bisnis, di harian Republika pada kurun waktu 1999- 2001, lalu tiga buku pada trilogi ‘Proposisi Teman Ngopi’ (2002) yang terdiri dari ‘Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital’, lalu ‘Pendidikan dan Pengembangan Diri’, serta ‘Sastra dan Masa Depan Puisi’.

Sebelum acara peluncuran buku, Riri memberikan kuliah umum yang bertajuk “Metaverse: Dampak Terhadap Puisi dan Kepenyairan” yang diikuti oleh sebagian besar adalah para penyair. Metaverse, terdiri dari dua makna, yaitu meta dan universe, atau jagat yang berada di dalam dunia maya, jagat tidak nyata namun berdampak nyata. Manusia berinteraksi dalam jagat yang dibuat teknologi digital, algoritma, dan teknologi pendukungnya. Teknologi ini memang menimbulkan isu-isu baru dalam sosial dan kemanusiaan. Pertanyaan besarnya, bagaimanakah eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dalam era metaverse ini?

Riri mencatat setidaknya ada empat dampak Metaverse terhadap puisi dan kepenyairan, yaitu (1) sumber inspirasi yang baru, (2) kolaborasi yang lebih kolaboratif karena membuat kita bagaikan ‘hadir bersama’ dalam satu ruang walaupun sebenarnya terpisah, (3) ngumpul untuk membaca, belajar, atau mendiskusikan puisi yang lebih ‘ngumpul’ walaupun terpisah, serta (4) komputer yang mampu membuat puisi atau computer-generated poetry menjadi semakin dahsyat.

Forum diskusi pembahasan buku menghadirkan narasumber penyair serta Emi Suy yang juga pengurus Jagat Sastra Milenia serta Sekretaris Redaksi Sastramedia.com, pengamat serta aktivis kebudayaan dan kemanusiaan Tatan Daniel, Guru Besar Teknik Elektro sekaligus ketua klub puisi civitas academia Universitas Indonesia, Prof. Riri Fitri Sari, serta Riri satria sebagai penulis buku. Diskusi dipandu oleh Sofyan RH Zaid, Pemimpin Redaksi Sastramedia.com dan pengurus Jagat Sastra Milenia.

Penyair Emi Suy yang memberikan epilog buku puisi ini mengatakan bahwa Riri Satria mengundang kesadaran baru yang mengajak kita menjawab pertanyaan lama dengan pertanyaan yang lebih kritis menyangkut nasib kehidupan di era digital yang semakin berlapis dan rawan. Kita perlu mendengar kesaksian Riri Satria agar kita belajar dari “suara lain” itu tentang harapan hidup di masa depan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh membuat keterasingan dalam kehidupan, ini bisa membahayakan.

“Tampaknya Bang Riri berusaha menangkap kondisi kekinian yang bisa saja sulit untuk diartikulasikan. Di sisi yang lain, masih banyak penyair berkutat pada citraan alam, atau hal-hal yang terkesan klise dan kuno. Riri Satria berusaha mengatakan apa yang terjadi sekarang dengan menyebutkan istilah-istilah dari teknologi baru, dunia digital, dan teori yang sedang banyak diperbincangkan di bangku-bangku akademik, atau hal-hal lainnya yang mungkin akan terdengar tidak puitis bunyinya bagi sebagian kita. Tapi dengan ketekunan ia berhasil memasukkan dan memadukan kata-kata itu ke dalam puisi-puisinya dan menghasilkan rangkaian frase dengan diksi berbunyi yang unik. Tampak pada judul-judul puisi dalam buku ini, seperti Drone di Atas Khatulistiwa, Hacker, Dark Web, Proxy, Glock 19, Post Truth Society, serta Hitmen. Judul yang tidak lazim untuk puisi yang biasa kita temui.” demikian Emi Suy melanjutkan penjelasannya.

Sementara itu Tatan Daniel mengatakan bahwa saat ini puisi tak sekedar berbicara ikhwal air mata, atau remuk redam cinta yang patah. Tapi juga tentang Rakhine, Aleppo, hoaks, statistika, mafioso, kebanalan jargon, pengkhianat nalar, koruptor jalang, teori ekonomi, politik, sains, teknologi, dan misteri ilusi yang menjadi kerumun-halimun dalam sejarah peradaban manusia.

“Dan dengan ketajaman mata elang drone, Riri Satria, sang pengamat ekonomi digital, mencermati perlambang, menafsirkan kompleksitas fenomena, mendedah dimensi antara fakta dan fiksi, menyusur deja vu, menelisik keajaiban algoritma, mistik keterasingan, menghayati sunyi yang bukan sekadar sepi. Lalu menandainya dengan sejumlah diksi yang tidak biasa. Bagai batu penjuru yang menghubungkan lorong masa lalu dengan masa depan, dengan segala kemungkinannya. Ia menuliskannya dengan lembut. Dengan sansai. Tak urung juga dengan masgul dan marah yang sangat. Ia menunggu hujan, mencari pendar bulan. Seperti Apollinaire yang tercenung di tepi sungai La Seine. Dari bentang dinding tua kota lama, dari pesan mural di sebuah tembok, dari labirin pemukiman, jerebu jalanan, dari parak sungai busuk limbah kebebalan manusia, ia bangun imaji. Menyusur ke hulu, ia sempatkan bercakap-cakap dengan Bung Karno dan Bung Hatta, tentang bermacam soal”, demikian Tatan melanjutkan.

Tatan mengakhiri ulasannya dengan mengatakan, “Di lanskap hyper-reality, yang terbangun oleh susunan fraktal tak berhingga, Riri meracik puisi dengan rasa baru, segar, dan menantang. Dirayakan dengan ungkapan khas yang kaya, yang mendudukkan puisi Riri pada maqamnya. Menyalangkan mata batin, dari bingkai jendela yang berbeda. Puisi sebagai gelisah tak terpermanai, rasa rindu yang maha, yang mencegat dan tak henti menggugat: Dimanakah kemanusiaan kita? Demikianlah buku ini, menurut saya. Ia tak ingin hadir sebagai kumpulan kata yang majal, tapi sebagai pisau bedah dengan mata digital, yang mencari jawaban di urat aorta kita. Di syaraf bawah sadar kita, yang sebagian mulai berubah menjadi kumparan data yang dingin dan aneh!”

Lalu Riri Fitri Sari menjelaskan bahwa dia sedang berada di sebuah universitas beberapa ratus meter dari Menara Eifel, ketika pesan sahabatnya sejak menjadi aktivis mahasiswa di Universitas Indonesia, Riri Satria, diterimanya lewat pesat WhatsApp. Berkas buku puisi yang penuh dengan kata kunci yang setiap hari yang juga dia geluti: metaverse, algoritma, cloud computing, drone, proxy, berkelindan dengan nama jalan di kota Paris yang banyak dituliskannya dalam bait puisi.

“Buku puisi ini menceritakan jalan sunyi yang dilalui Riri Satria berbagi dengan teman-teman sastranya, di antara kesibukannya sebagai konsultan teknologi dan dosen di Fakultas Ilmu Komputer UI. Ada cerita ribuan jalan panjang, ribuan kota, ribuan orang yang ditemuinya, ribuan risiko, ribuan rindu, ribuan cinta, ribuan perjuangan yang telah diresapinya. Kami berada dalam satu frekuensi, termasuk kesukaan pada kata-kata teknologi terkini dan romantisme negeri Eropa yang menjelma menjadi lukisan melodi hati dalam goresan puisi”, demikian Riri Fitri Sari mengakhiri ulasannya.

“Saya mengibaratkan diri saya sedang melalangbuana dengan berbagai puisi di alam metaverse. Saya melanglang buana ke alam algoritma, cloud computing, menjelajah ke masa lalu, ke masa depan, menjelajah ke berbagai penjuru dunia, dan sebagaiya, dan di situlah puisi ini dibuat.” demikian penjelasan Riri Satria terkait ‘Metaverse’ dengan puisi-puisinya.

Sebagai penulis puisi dengan latar belakang pendidikan dan profesi di bidang ilmu komputer dan teknologi informasi, saat ini Riri banyak membahas computer-generated poetry menggunakan teknologi kecerdasan buatan, serta perkembangan dunia siber seperti metaverse terhadap sastra, terutama puisi. Riri juga pernah menjadi pembicara pada acara seminar sastra dengan topik seputar perkembangan teknologi dan dmapaknya terhadap puisi, antara lain “Sinergi Sastra dan Ilmu Komunikasi sebagai Sarana Diplomasi Budaya dalam Membangun Peradaban di Era Milenial”, Universitas Pakuan, Bogor (2018), “Seminar Sastra Peringatan Puncak Hari Puisi Indonesia 2019”, Jakarta (2019), serta “Seminar Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019” di Banjarbaru, Kalimantan Selatan (2019), serta “Seminar Sastra Peringatan Puncak Hari Puisi Indonesia 2021”, Jakarta (2021).

Riri Satria adalah kombinasi seorang yang berkecimpung di dunia ekonomi, bisnis, teknologi, pendidikan, dan juga puisi. Selain berprofesi sebagai dosen di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Riri juga seorang Founder dan CEO Value Alignment Advisory Group, yang bergerak di bidang manajemen strategis dan transformasi digital, serta komisaris sebuah BUMN PT. Jakarta International Container Terminal (JICT). Ia adalah Sarjana Ilmu Komputer lulusan Universitas Indonesia serta menempuh program Doktor pada PSB Paris School of Business, di Paris, Prancis.
Ketika ditanya mengapa masih menulis puisi di tengah-tengah kesibukannya, Riri menjelaskan, “Untuk mencari kebahagiaan menuju keseimbangan dalam hidup. Kalau mencari panggung tentu tidak, karena sastra bukanlah panggung saya. Saya sudah memiliki panggung di dunia yang lain, misalnya di dunia bisnis dan manajemen, dunia teknologi dan transformasi digital, serta dunia akademik. Bisa jadi sastra panggung saya juga, tetapi ini adalah panggung yang tidak sengaja. Namun buat saya, bersastra terutama berpuisi serta bergaul dengan teman-teman penyair itu menyeimbangkan kehidupan antara proses yang sangat analitis berpikir penuh kalkulasi angka-angka dengan hal-hal yang sifatnya perasaan, rasa empati dan seterusnya. Di dunia sastra rasa kepekaan dan kemanusiaan saya lebih terasah. Saya merasa hidup saya lebih berwarna dan siapa tahu saya juga bisa berbuat sesuatu untuk sastra Indonesia.”