Menjadikan RRI Sebagai Lembaga Penyiaran Pilihan Publik
Oleh Aat Surya Safaat*
Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) sejatinya berpotensi menjadi salah satu sumber rujukan terpercaya bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang sehat dan berkualitas.
RRI bahkan bisa menjadi semacam “clearing house” atau tempat penjernihan informasi terkait maraknya sirkulasi hoaks dan terpaan konten bias komersial serta bias kepentingan politik kelompok tertentu.
Sebagai media rujukan, RRI diharapkan menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan memberi ruang untuk dialog interaktif, mewadahi pendapat masyarakat yang berbeda-beda, dan mendorong partisipasi warga untuk menyampaikan ide dan gagasan tanpa bias kepentingan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah RRI yang didirikan pada 11 September 1945 itu masih diminati publik atau masyarakat luas, khususnya kalangan milenial, yaitu orang yang lahir antara tahun 1981 dan 2000?
Keunggulan
Menilai kiprah suatu institusi, termasuk RRI tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus komprehensif, terutama dengan melihat keunggulan dan kelemahannya untuk kemudian dijadikan masukan guna memajukan institusi dimaksud.
Sepanjang yang saya ketahui dan saya amati, ada banyak keunggulan RRI dibanding radio-radio lain (radio swasa), terutama yang bermunculan di berbagai daerah di Indonesia sejak era Reformasi.
Pertama, RRI mempunyai “brand” yang kuat, terutama karena tetap eksis meski usianya sudah mencapai 76 tahun serta dikenal sebagai radio perjuangan, karena RRI menyiarkan berita Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 ke seantero Nusantara, bahkan ke dunia internasional.
Dalam definisi sederhana, brand itu sendiri bisa dikatakan sebagai identitas yang bisa dilihat dari logo atau namanya, bahkan merupakan wajah dari sebuah institusi atau perusahaan. Jika brand-nya jelek, otomatis publik dan pelanggan tidak akan melirik institusi atau perusahaan yang bersangkutan.
Dalam sebuah bisnis, “brand” bisa diibaratkan sebagai sebuah nyawa. Tanpa brand, bisnis tidak akan bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Dalam hal ini patut disyukuri RRI dikenal oleh berbagai kalangan karena mempunyai brand yang kuat.
RRI adalah satu-satunya radio yang menyandang nama negara yang siarannya ditujukan untuk kepentingan bangsa dan negara. RRI adalah LPP yang independen, netral dan tidak komersial, dan berfungsi memberikan pelayanan siaran informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol sosial, serta menjaga citra positif bangsa di dunia internasional.
Status RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 dan 12 tahun 2005 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002.
Kedua, RRI mempunyai jaringan luas dan mempunyai frekuensi publik yang melimpah secara nasional hingga daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Melimpahnya frekuensi publik ini merupakan modal kompetitif bagi RRI.
RRI saat ini mempunyai lebih dari 90 stasiun penyiaran dan stasiun penyiaran khusus yang ditujukan ke luar negeri. RRI menyelenggarakan siaran dalam maksimal empat programa pada frekuensi AM dan FM, dengan ketersediaan masing-masing programa bervariasi di setiap daerah.
Ketiga, di tengah dominasi teknologi internet dan anggapan bahwa RRI telah banyak ditinggalkan oleh publik, terutama dari kalangan milenial tampaknya tidak terbukti karena RRI ternyata mengikuti perkembangan teknologi informasi.
RRI sudah mengoperasikan RRIplay Go, yaitu aplikasi mobile yang menawarkan layanan-layanan RRI dalam satu aplikasi dengan viewer jutaan, di antaranya streaming seluruh stasiun RRI, portal berita, dan RRI 30″ (jurnalisme warga). RRIplay Go ini merupakan layanan streaming radio terbesar yang bisa dipantau di lebih dari 80 kota di seluruh Indonesia.
RRI juga memiliki RRI NET, yaitu saluran radio visual (“siaran televisi rasa radio”) yang menyiarkan program-program RRI secara langsung melalui televisi satelit siaran gratis. Stasiun radio itu juga memiliki portal berita pada situs web resminya (rri.co.id) yang sudah ada setidaknya sejak 2008.
Keempat, RRI menjalankan peran “second track diplomacy” dengan menyelenggarakan siaran radio diplomasi melalui siaran luar negeri untuk membangun citra positif bangsa di dunia internasional bekerjasama dengan kedutaan-kedutaan asing dan radio luar negeri dengan siaran yang bersifat reciprocal seperti dengan NHK Jepang, RTM Malaysia, dan BBC London.
RRI juga menyelenggarakan siaran rutin dan terkoneksi dengan tujuh negara yaitu Hongkong, Malaysia, Brunei Darusalam, Jepang, Taiwan, Korea dan Arab Saudi untuk “mendekatkan” tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan kampung halamannya. Pendengar RRI di luar negeri khususnya TKI berjumlah puluhan ribu orang yang mendengarkan siaran berita RRI melalui audio streaming.
Kelemahan
Sebagai lembaga penyiaran publik, RRI juga memiliki kelemahan internal yang dapat pula mempengaruhi dan menghambat jalan tujuan yang hendak dicapai dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Pertama, kelemahan yang dimiliki RRI adalah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)-nya. Banyak sumber menyebutkan bahwa permasalahan mendasar yang ada saat ini adalah jumlah karyawan yang banyak (ada yang menyebut 6.000, ada pula yang menyebut 8.500 orang), tetapi sebagian besar kualitasnya biasa-biasa saja.
Di sisi lain pihak manajemen tidak dapat berbuat banyak untuk melakukan penataan ulang secara radikal karena ada hambatan struktural. Sebagian besar SDM RRI sekarang ini berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dalam aturan kepegawaian PNS, manajemen tidak mudah memberhentikan pegawai yang sebenarnya sudah tidak dibutuhkan lembaga karena kinerjanya rendah dan justru hanya menambah beban. Pihak manajemen harus tetap mempekerjakan SDM yang sebenarnya sudah tidak mampu menyesuaikan diri dengan dinamika dan perkembangan zaman.
Menurut Peneliti Komunikasi Darmanto dalam Jurnal komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Vol. 7, No. 2, April 2013 yang berjudul “Urgensi Perubahan Kebijakan SDM RRI untuk Mendukung Transformasi Menjadi Radio Publik”, sebagian besar pegawai RRI berstatus PNS hasil rekrutmen di era Orde Baru. Kebanyakan sudah mendekasi masa pensiun.
Sedangkan sebagian lainnya merupakan pegawai kontrak yang di lingkungan RRI lebih populer dengan sebutan PBPNS (Pegawai Bukan PNS). PBPNS merupakan rekrutmen di era reformasi, terutama setelah RRI resmi menjadi Lembaga Penyiaran Publik pada 2005, dan pengangkatannya didasarkan pada Surat Keputusan Direktur Utama LPP RRI.
Perbedaan status kepegawaian di lingkungan RRI telah menimbulkan masalah tersendiri. PBPNS sebagai tenaga kontrak tidak memiliki jaminan untuk bekerja di RRI selamanya. Selama beberapa tahun terakhir juga tidak ada pengangkatan karyawan baru karena terkait masalah birokrasi, dan pendanaannya harus bersumber dari APBN (harus ada izin dari Kemenkeu).
Tapi di sisi lain, RRI juga harus mencari ‘profit’ untuk negara berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana diatur dalam PP Nomor 68 Tahun 2020 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku di lingkungan LPP RRI.
Kedua, akibat kelemahan SDM itu pula pemberitaan RRI sering kalah cepat dibanding media-media lainnya, apalagi kalau dibandingkan dengan El-Shinta, radio swasta yang memfokuskan diri pada pemberitaan aktual serta sering diselingi dengan wawancara langsung dari lapangan.
Ketiga, fungsi kehumasan yang dijalankan oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) RRI masih lemah. Sampai sekarang belum banyak institusi pemerintah dan publik yang “aware” bahwa RRI ternyata mengikuti perkembangan IT seperti telah dimilikinya RRIplay Go, RRI NET, dan portal RRI, sehingga banyak pihak belum tertarik beriklan di RRI.
Solusi
Kunci utama untuk mengatasi kelemahan seperti disebutkan terdahulu adalah harus kuatnya “leadership” (kepemimpinan) yang dijalankan oleh Dirut beserta beberapa direktur di lingkungan RRI, yaitu Direktur Program dan Produksi, Direktur Teknologi dan Media Baru, Direktur Layanan dan Pengembangan Usaha, Direktur Keuangan, dan Direktur SDM dan Umum.
Oleh karena itu Direksi RRI harus visioner, proaktif, inovatif, kreatif, dan bisa menjadi teladan serta mampu berkomunikasi efektif dengan berbagai pihak terkait, sebab kemajuan suatu institusi atau organisasi manapun pada akhirnya akan banyak bergantung pada kualitas leadership pengelolanya.
Kepemimpinan itu sendiri adalah salah fungsi manajemen untuk mempengaruhi, mengarahkan, memotivasi, dan mengawasi orang lain agar dapat melakukan tugas-tugas yang telah direncanakan sehingga mencapai sasaran dan tujuan organisasi.
Maka, dalam kaitan ini, Direksi RRI yang baru dituntut untuk membuktikan bahwa mereka mampu bekerja dengan teamwork yang solid, profesional, independen, dan mengedepankan kepentingan nasional sehingga menjadikan LPP RRI sebagai sumber rujukan terpercaya dan berkualitas bagi publik di Indonesia, bahkan bagi dunia internasional.
Apalagi mereka meraih posisi direksi di tengah rumor atau isu adanya “pesanan” dari pihak-pihak tertentu, terutama untuk posisi Dirut di LPP itu, sedangkan proses seleksi penerimaan calon direksi disebut-sebut tak lebih sekedar formalitas. Semoga rumor yang sempat muncul di beberapa media itu tidak benar adanya. Saya pun meyakini isu itu sekedar angin lalu.
Kemudian, kemampuan kepemimpinan di suatu organisasi, termasuk di jajaran Direksi RRI, bagaimanapun akan sangat mempengaruhi kinerja organisasi yang bersangkutan, terutama dalam hal pencapaian tujuan yang sudah disepakati bersama.
Jajaran Direksi dan Dewan Pengawas RRI juga tidak boleh alergi terhadap kritik publik, semata-mata untuk tujuan perbaikan, terlebih LPP RRI didanai oleh negara (dari APBN) yang tentunya berasal dari publik (rakyat), dan karenanya kiprah RRI sejatinya harus didedikasikan untuk kepentingan publik dan negara.
Karena itu pula Direksi RRI harus mampu menjabarkan visi LPP RRI, yakni terwujudnya RRI sebagai LPP yang terpercaya dan mendunia, dengan misi antara lain menjamin terpenuhinya hak warga negara terhadap kebutuhan informasi yang objektif dan independen, dan memperkuat kebhinekaan melalui siaran budaya yang mencerminkan identitas bangsa.
Adapun tugas pokok LPP RRI adalah memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran radio yang menjangkau seluruh wilayah NKRI.
Dalam upaya merealisasikan visi dan misinya itu, khusus dalam urusan pemberitaan sebagai “core business” RRI, lembaga penyiaran publik itu dituntut supaya menyajikan program-program dan karya jurnalistik dengan kualitas bersaing. Maka, profesionalisme bagi seluruh awak RRI menjadi sebuah keniscayaan.
Perlu ditekankan juga bahwa RRI harus memiliki karakter sebagai lembaga penyiaran publik yang konsisten serta tidak terjebak dalam praktek bisnis. RRI sebagai lembaga penyiaran publik adalah penyeimbang, radio alternatif, dan bukan saingan radio-radio swasta.
Eksistensi RRI sebagai lembaga penyiaran publik semakin dibutuhkan karena arah dari siaran radio-radio swasta pada titik tertentu membuat orang ingin mencari sesuatu yang lain. RRI dapat mengambil kesempatan untuk menampilkan sesuatu yang berbeda.
RRI tidak boleh kehilangan peran utamanya sebagai radio publik yang perlu membedakan diri dari radio-radio swasta yang cenderung berorientasi mengejar keuntungan finansial karena biaya operasional yang tinggi.
RRI tidak ditugaskan untuk bersaing dengan radio-radio swasta, tetapi malahan sebaliknya perlu mengangap mereka sebagai mitra, dan bukan kompetitor. Mereka malahan bisa diberi ruang di aplikasi RRIplay Go.
Berikutnya, prioritas kerja yang mendesak adalah penyegaran Sumber Daya Manusia (SDM) dengan “mengupgrade” SDM yang ada melalui pelatihan-pelatihan atau workshop di bidang terkait serta menerapkan pola manajemen “reward and punishment” agar para karyawan dan wartawan RRI terdorong untuk berkiprah secara profesional dan bertangungjawab.
Di sisi lain tenaga-tenaga PBPNS (Pegawai Bukan PNS) perlu diupayakan agar segera diangkat menjadi karyawan tetap, bahkan juga perlu dibuka kesempatan bagi generasi milenial untuk berkarya di LPP RRI, terutama karena dalam waktu yang relatif tidak lama lagi sebagian pegawai RRI akan memasuki masa pensiun.
Prioritas lainnya adalah perlunya LPP RRI melakukan riset di masyarakat mengenai jenis siaran apa yang disukai dan berpotensi menarik untuk berbagai tingkat pendidikan pendengar, mulai dari tingkat pendidikan sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Survey lain yang perlu dilakukan adalah apakah siaran-siaran RRI dapat dengan mudah ditangkap di daerah-daerah, bahkan apakah ke empat programa RRI Jakarta dapat ditangkap dan didengarkan siarannya dengan baik di kelima wilayah DKI, termasuk di Kepulauan Seribu.
Selain itu, tidak kalah pentingnya, fungsi kehumasan RRI harus diperkuat. Tanpa strategi kehumasan dan strategi branding yang tepat, publik tidak akan pernah tahu adanya produk atau layanan RRI yang sejatinya sangat bermanfaat untuk kepentingan masyarakat.
Meski tidak mencari untung, RRI juga perlu mengoptimalkan potensi yang dimilikinya sebagai sumber pendapatan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dijamin oleh aturan perundangan, dan khusus tugas mulia ini diemban oleh Direktorat Layanan dan Pengembangan Usaha RRI.
Last but not least, tidak dapat dipungkiri bahwa radio publik yang “credible” adalah radio yang bisa mengemas sesuatu yang penting menjadi sesuatu yang menarik, dan RRI diharapkan mengisi ruang-ruang informasi penting yang tidak terwadahi media umum lainnya.
Oleh karena itu LPP RRI tidak bisa dikelola dengan cara-cara transaksional, reaktif, atau berjangka pendek, tetapi harus dibangun dengan langkah-langkah yang strategis, antisipatif, dan visioner atau berjangkauan jauh ke depan.
*Aat Surya Safaat adalah Wartawan Senior dan Konsultan Komunikasi. Saat ini mendapat amanah sebagai Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI) serta Wakil Sekretaris Komisi Infokom Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ketua Bidang Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).