Mahkamah Agung Terima Surat Pengaduan Terkait Dugaan Pelanggaran Kode Etik Dan Profesionalisme Hakim Terdakwa Tom Lembong

Mahkamah Agung telah menerima surat pengaduan Nomor 15/08/2025 tanggal 4 Agustus 2025 tentang Dugaan Pelanggaran Kode etik dan Profesionalisme yang dilakukan oleh Hakim perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor 34/Pidsus/TPK/2025 PN Jakarta Pusat atas nama terdakwa Thomas Trikasih Lembong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Surat tersebut diajukan oleh Tim Kuasa Hukum Thomas Trikasih Lembong kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang nantinya akan diperiksa oleh Badan Pengawasan MA RI.

“Atas laporan tersebut, Ketua Mahkamah Agung secepatnya akan mempelajari surat tersebut untuk mengetahui perlu atau ada tidaknya melakukan klarifikasi kepada pihak yang terkait dengan perkara tersebut, karena Dugaan adanya perbuatan yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku Hakim,” ujar Juru Bicara MA, Yanto, Rabu (6/8).

Yanto juga bicara mengenai permasalahan sertifikasi Hakim tipikor atas Hakim yang menangani perkara Tindak Pidana Korupsi No. 34/Pidsus-TPK/2025 PN Jakarta Pusat atas nama terdakwa Tom Lembong. Berdasarkan data dari Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Hakim yang menangani perkara tersebut telah memiliki sertifikasi sebagai Hakim Tipikor.

“Sehingga berdasarkan Pasal 11 huruf  E dan Pasal 12 huruf C Undang-Undang No. 48 tahun 2009 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan tipikor maka yang bersangkutan telah memenuhi syarat sebagai Hakim tipikor,” ujar Yanto.

Syarat sebagai Hakim Tipikor pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tingkat Banding baik Hakim karier maupun Hakim ad-hoc telah ditentukan bahwa yang bersangkutan memiliki sertifikat sebagai Hakim tipikor. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 11 huruf E dan Pasal 12 huruf J Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor.

Ketentuan dalam undang-undang tersebut, sebagaimana ketentuan teknis hukum acara yang tidak dapat dikesampingkan oleh produk kebijakan yang menambah atau mengurangi syarat adanya sertifikasi Hakim Tipikor bagi hakim yang menangani perkara korupsi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.

“Saya ulangi, ketentuan dalam Undang-Undang tersebut sebagaimana ketentuan teknis hukum acara yang tidak dapat dikesampingkan oleh produk kebijakan yang menambah atau mengurangi syarat adanya sertifikasi Hakim tipikor bagi Hakim yang menangani perkara korupsi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi,” pungkasnya.

Diketahui, meskipun telah mendapat Abolisi, Tom Lembong melalui penasihat hukumnya melaporkan sejumlah hakim yang mengadilinya ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Tak hanya itu, tim audit yang menangani perkara ini juga dilaporkan ke Ombudsman dan BPKP.

Dalam kasus korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015-2016, Tom Lembong divonis pidana 4 tahun dan 6 bulan penjara setelah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp194,72 miliar.

Tindak pidana korupsi yang dilakukan Tom Lembong, antara lain dengan menerbitkan surat pengajuan atau persetujuan impor gula kristal mentah periode 2015–2016 kepada 10 perusahaan tanpa didasarkan rapat koordinasi antar kementerian serta tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

Atas perbuatannya, Tom Lembong juga dijatuhkan pidana denda sebesar Rp750 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama enam bulan. Tom mengajukan banding atas putusan ini.

Namun, sebelum proses hukum tingkat banding selesai, pada 1 Agustus 2025, Tom Lembong resmi bebas dari Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang, Jakarta, usai menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.

Tom Lembong keluar dari Rutan Cipinang pada pukul 22.05 WIB setelah keputusan Presiden (keppres) diteken pada sore hari, yang kemudian keppres tersebut diserahkan pihak Kejaksaan Agung ke Rutan Cipinang pada malam harinya.