Keputusan Mendagri Pemindahan 4 Pulau Aceh Ke Sumut

Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang memindahkan empat pulau di Aceh Singkil (Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Panjang, dan Lipan) ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, bukan hanya menuai protes wajar masyarakat Aceh, tetapi juga merupakan kebijakan yang cacat secara faktual, historis, dan administratif. Keputusan ini berisiko memicu konflik horizontal dan mengabaikan prinsip keadilan serta pengakuan terhadap sejarah pengelolaan wilayah.

1. Kontradiksi Nyata antara Dokumen Administratif dan Fakta Lapangan

Keputusan Mendagri bertabrakan secara frontal dengan realitas di lapangan:

  • Bukti Pengelolaan Aktif Aceh: Keberadaan tugu batas wilayah (2012, 2018), rumah singgah (2012), mushala (2012), dermaga (2015), dan makam keramat di Pulau Panjang yang dibangun dengan APBD Aceh adalah bukti effective occupation tak terbantahkan. Prinsip hukum internasional ini mengakui wilayah yang secara konsisten dikelola oleh suatu entitas.
  • Ketidakhadiran Sumut: Tidak ada satu pun infrastruktur, fasilitas publik, atau tanda pengelolaan dari Pemkab Tapanuli Tengah atau Pemprov Sumut di keempat pulau tersebut. Klaim Sumut atas pulau-pulau ini terkesan hanya di atas kertas, tanpa dasar pengelolaan nyata.

2.  Dokumen Historis dan Hukum yang Menguatkan Posisi Aceh

  • Klaim Aceh memiliki pondasi dokumen yang kuat dan jauh lebih tua:
  • SK Agraria 1965: Dokumen resmi Kepala Inspeksi Agraria DI Aceh (No. 125/IA/1965) secara eksplisit mencatat keempat pulau sebagai hak milik ahli waris Teuku Radja Udah dari Bakongan, Aceh Selatan (sekarang masuk Aceh Singkil). Ini adalah bukti kepemilikan dan administrasi formal di bawah wilayah Aceh sejak puluhan tahun lalu.
  • Peta Batas Resmi 1978: Kesepakatan Aceh-Sumut 1988 merujuk pada Peta Topografi TNI AD 1978 (skala 1:50.000) yang secara jelas mencantumkan keempat pulau dalam wilayah Kecamatan Singkil Utara, Kabupaten Aceh Singkil. Peta inilah yang selama ini menjadi acuan operasional.

3. Potensi Konflik dan Pengabaian Aspek Sosial-Budaya

Keputusan ini mengabaikan dimensi sosial budaya yang sangat kental:

  • Kearifan Lokal Aceh: Tradisi larangan melaut hari Jumat yang dihormati nelayan membuktikan tegaknya qanun (hukum adat) laut Aceh di wilayah tersebut. Ikatan sosio-kultural masyarakat sekitar dengan Aceh sangat kuat.
  • Pemicu Konflik: Pemindahan sepihak berisiko tinggi memicu gesekan antarwarga dan pemerintah daerah. Sentimen kedaerahan yang sudah mulai muncul merupakan alarm bahaya yang tidak boleh diabaikan.

4. Potensi Strategis yang Diabaikan Proses Partisipatif

Keempat pulau memiliki nilai ekonomi strategis (perikanan tangkap/budidaya, ekowisata bahari, potensi logistik/energi). Pemindahan ini:

  • Merugikan Aceh: Mencabut aset potensial dari wilayah yang secara historis dan faktual mengelolanya.
  • Tanpa Konsultasi:* Keputusan diambil tanpa melibatkan pemangku kepentingan utama (masyarakat dan Pemda Aceh Singkil/Aceh), mengabaikan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

5. Kelemahan Prosedur: Batas Laut Belum Final

Dasar utama sengketa ini adalah ketiadaan penetapan batas wilayah laut final antara Aceh dan Sumut oleh Pemerintah Pusat. Mengeluarkan keputusan administratif pemindahan pulau sebelum batas laut jelas adalah tindakan prematur dan kontra-produktif. Ini seperti membangun rumah di atas fondasi yang retak.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Keputusan Mendagri 2025 tentang keempat pulau Aceh Singkil adalah kebijakan yang gegabah, tidak berdasar, dan berpotensi konflik. Keputusan ini:

1. Mengabaikan fakta pengelolaan nyata (effective occupation) oleh Aceh.
2. Menafikan bukti historis dan dokumen hukum resmi (SK Agraria 1965, Peta 1978).
3. Berisiko memicu konflik sosial dan merusak harmoni antarprovinsi.
4. Diambil tanpa proses konsultasi yang memadai dengan pihak Aceh.
5. Dasar hukumnya lemah karena batas laut Aceh-Sumut belum ditetapkan final.

Solusi yang Adil dan Bermartabat:

  • Pencabutan Kepmendagri 2025: Langkah pertama yang mendesak untuk meredakan ketegangan dan menghormati fakta lapangan.
  • Percepatan Penetapan Batas Laut Aceh-Sumut: Pemerintah Pusat harus segera memfasilitasi dan memutuskan batas wilayah laut yang sah berdasarkan kajian komprehensif (historis, geografis, administratif, sosial budaya) dengan melibatkan aktif kedua provinsi.
  • Dialog Multilevel Government: Membuka ruang dialog partisipatif antara Kemendagri, Pemprov Aceh, Pemprov Sumut, Pemkab Aceh Singkil, dan Pemkab Tapanuli Tengah, serta melibatkan tokoh adat dan masyarakat setempat untuk mencari solusi berkelanjutan.
  • Pengakuan terhadap Pengelolaan Aceh: Selama proses penetapan batas, status quo pengelolaan oleh Aceh Singkil harus dihormati.

Mengembalikan keempat pulau ke pangkuan Aceh bukan sekadar memenuhi tuntutan emosional, tetapi merupakan pengakuan atas kebenaran fakta, keadilan sejarah, dan prinsip hukum pengelolaan wilayah yang sah. Kebijakan yang baik harus lahir dari data akurat dan proses inklusif, bukan dari keputusan sepihak yang mengabaikan realitas di lapangan.