Kepak Sayap Garuda
Oleh : Abdul Munib
Dari langit nusantara terkibar pita bertulis Bhineka Tunggal Ika. Di cengkeram dua kaki Garuda yang mengepak sayap terbang mengangkasa menggapai alam ketunggalan. Dari langit sejarah seorang Mpu menorehkan arang kemiri pada daun lontar kering dalam Kitab Sutasoma. Bhineka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangrwa. Mpu Tantular membuat sebuah proposisi makrifatnya yang tersambung dari Misteri Majapahit hingga Indonesia.
Dalam langit filsafat metafisik proposisi Mpu Tantular yang dibewarakan oleh Garuda ke seluruh langit nusantara itu, tercermin dalam Wahdah fi aam alkatsrah. Artinya yang tampak beraneka ragam dalam abstraksi respektival benak kita hakikatnya Hyang Tunggal (Ada yang satu / Dharma yang tak mendua)
Proposisi Bhineka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangrua terungkap dalam bahasa Sanksekerta. Dalam proposisi keagamaan kuno Kapitayan tertulis : Tankena Kinaya Ngapa. Artinya Tuhan tak dapat diapakan dan dibagaimanakan. Tercukuplah terfaham bahwa Dia ada. Karena Dia tak akan terperangkap dan tak akan terjelaskan dari konsepsi jawaban dari pertanyaan apa (whatcess concept) ? Juga tak memiliki konsep dari jawaban pertanyaan bagaimana Dia ada ?
Dalam bahasa Indonesia hasil Kongres Pemuda Kedua, proposisi itu setelah digodok Tim Sembilan BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Diriyadhohi Kiai Hasyim Asyari, – puasa dan shalat hajat, jadilah Ketuhanan yang Maha Esa -dalam Pancasila. Proposisi yang mirip dan identik dengan frasa Alquran: Wa ilahukum ilahuw wahid (Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang satu).
Dalam surat Al Ikhlas terdapat dua kata Ahad (artinya satu). Yakni di ayat pertama dan di ayat terakhir. Qul huwa Allahu ahad (Katakan, Dia adalah Allah yang Satu). Dan ayat terakhir Walam yakun lahu kufwan ahad (TerhadapNya tak ada satu pun yang bisa menyamai). Makna kata Satu yang pertama adalah dalam pandangan konsep kefilsafatan. Dan makna kata satu dalam ayat kedua adalah makna konsep kemahiyahan. Satu pertama adalah satu Ada. Satu kedua adalah satu tiada. Satu Ada adalah realitas. Satu tiada adalah abstraksi respektifal berupa tersantir dalam benak manusia.
Kitab Al Asfar Al Arba’ah karangan Mulla Sadra harus menjadi pendamping wajib bagi filsuf bangsa kita yang hendak terbang bersama Garuda mencapai ujung langit kemanusiaan yakni Maqam Muhammadiyah – Qaba Qausaini Au Ad’na- melampaui Sidrah Muntaha (maqam pamungkas malaikat).
Dari ujung langit kemanusian tampak lapisan terluar Dzat Suci Ilahi sebagai permukaan luar Sirullah (Dimensi rahasia Tuhan).
Kedalaman dimensi ini bahkan ilmu seluruh para nabi dikumpulkan jadi satu pun tak bakal bisa menjangkaunya. Saking dalamnya rahasia Dzat Allah.
Kitab Al Asfar adalah langit ilmu pengetahuan manusia yang menegaskan hendaknya manusia cukup pada menyembah maknaNya yang dapat masing-masing fahami dan yakini. Setiap orang dalam maqam makrifat yang berbeda kualitas terhadap makna Tuhan yang disembahnya. Dengan makrifat atas maknaNya yang dimiliki masing-masing manusia Dia disembah. Maka sang aku yang menyembah Dia Hyang Maha Esa adalah hakikat satu peleburan dalam dua modus : dimensi kemuliaan bagi aku yang menyembah dan dimensi kehinaan bagi aku yang menolak menyembah – yang hidup dalam substansi jiwa yang redup.
Langit mistisisme Sutasoma, langit konsep kefilsafatan Metafisika, langit riyadah Kiai Hasim Asy’ari dan Resolusi Jihadnya. Kesemuanya bisa kita bahas dalam berbagai arena kebudayaan dan game permainan anak bangsa. Sejak dulu moyang nusantara adalah para penjelajah bumi dan galaksi. Tentu dengan sebuah kesadaran yang terbit dari kepingan fuzle hakikat atau waqiah ainiyah nusantara, kita harus terlebih dahulu menyadari. Bahwa bangsa ini telah terlalu jauh menyimpang dari tujuannya semula : Amanat Penderitaan Rakyat. Jokowi dan Megawati hanya peduli penderitaan anak-anaknya saja. Apa bedanya dengan Soeharto kalau begitu. Bahkan anak-anak Suharto tampil jauh lebih sopan santun di media sosial.
Untuk langit konsep teologia bahaslah dalam ruangan agama masing-masing. Tidak boleh dimensi konsepsi kaidah teologia di bedah di ruang publik karena akan menafikan teologia yang lain. Yang akan jadi bahan bakar kekacauan di tingkat awam. Bahkan oleh musuh sekularisme Barat hal ini dijadikan pintu masuk untuk menggoyang stabilitas nasional seuatu negara.
Karena konsep kefilsafatan merupakan kelanjutan bangunan keilmuan yang berasal keniscayaan rasionalitas, maka setiap orang wajiblah mampir di kedai-kedai kopi yang disana guru logika tiap hari mejelaskan tata kelola isi kepala. Ambiguitas telah menyeret bangsa ini ke pinggir jurang fatal yang dipenuhi modus dobletop dan waterdown. Dua upaya musuh untuk menghilangkan substansi bangsa Indonesia dan upaya menghilangkan jejaknya sama sekali. Kita hanya disisakan tampilan wajah serakah di panggung kekuasaan yang korup dan licik.
Para pencuri yang bersolek polesan gincu murahan agar kelihatan pahlawan. Setelah hujan mengguyur ia akan tampak seperti babi yang mendengkur kekenyangan.
Jangan tergesa-gesa hendak memajukan Indonesia seolah seseorang adalah yang paling penting di negeri ini. Alinea ketiga pembukaan UUD 1945 sudah terlebih dahulu menyatakan Indonesia ini ada Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa. Itu yang pertama. Dan didorong oleh keinginan luhur itu yang berikutnya. Di negeri ini sekarang uang yang berbicara. Dan kita semua bungkam.
Di langit pikiran manusia terbentang dua lubang pintu masuk pengetahuan. Satu gerbang berasal dari potretan panca indera terhadap realitas alam luar yang cetakannya disimpan sebagai isi kepala. Gerbang kedua berasal dari realitas diri si pemikir yang hadir dalam seluruh momentum realitas ini secara kehadiran yang disadari. Kedua gerbang ilmu di langit pikiran kita ini yang membagi ilmu kepada : husuli dan huduri. Sesuai pintu masuknya di gerbang satu dan dua tadi.
Terhadap sesuatu yang telah diketahui (maklum) seorang manusia akan disebut seorang alim. Terhadap yang belum diketahui (majhul) seorang manusia berdiri seharusnya tak menyombongkan diri karena sesungguhnya majhul terlampau maha banyak jumlahnya yang belum kita ketahui. Tapi setiap hari kita berhadapan dengan manusia sok tahu yang mencari sorot lampu panggung mencari ketenaran padahal hanya sedikit pengetahuannya.